Ahmad Heryawan Mangkir Dua Kali Dipanggil KPK

foto

Wartawan: Ade Chandra Andriawan Opininews.com, Jakarta --- Mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher) kembali mangkir dari panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Aher dipanggil terkait proyek suap pembangunan apartemen Meikarta yang berada di wilayah Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Juru Bicara (Jujur) KPK Febri Diansyah mengalakan, pihaknya akan kembali mengagendakan pemanggilan ketiga untuk Ahmad Heryawan. Aher akan diperiksa untuk tersangka mantan Bupati Bekasi yang saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka, Neneng Hasanah Yasin. ”Iya, rencana KPK alan panggil kembali Aher untuk kebutuhan pemeriksaan,” kata Febri di Jakarta, kemarin (7/1). Febri mengungkapkan, catatan kami Aher kembali mangkir setelah sebelumnya tak memenuhi pemanggilan KPK pada Kamis, 20 Desember 2018 lalu. Padahal, kehadiran Aher amat penting untuk menggali kasus suap proyek Meikarta di Bekasi, Jawa Barat. ”Kami akan jadwalkan kembali Ahmad Heryawan dalam kapasitas sebagai saksi untuk tersangka NHY (Neneng Hasanah Yasin (NHY),” ujarnya. Selain Aher, KPK juga memanggil Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Sumarsono, terkait kasus serupa. Namun Sumarsono meminta penjadwalan ulang lantaran sedang melakukan perjalanan dinas ke London, Inggris. ”Kami mendapat surat pemberitahuan permintaan penjadwalan ulang Kamis, 10 Januari 2019, lantaran yang bersangkutan ada kegiatan lain,” kata Febri. Kemarin, KPK mengagendakan 15 orang saksi dan enam tersangka untuk pengusutan sembilan perkara. Aher dan Sumarsono adalah dua dari tiga saksi yang tidak hadir. Saksi terakhir yang mangkir yakni Kepala Divisi Manajemen Konstruksi PT Arkonin, Juswadji. Dalam kasus dugaan suap izin proyek pembangunan Meikarta ini, sedikitnya KPK telah menetapkan sembilan tersangka. Dua di antaranya Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin dan mantan Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro. Neneng Hasanah dan anak buahnya diduga telah menerima suap sebesar Rp 7 miliar dari Billy Sindoro. Uang itu diduga bagian dari fee yang dijanjikan sebesar Rp 13 miliar terkait proses perizinan Meikarta di Bekasi. Selain mereka berdua, tujuh orang lain yang ditetapkan sebagai tersangka yakni pegawai Lippo Group Henry Jasmen, dua konsultan Lippo Group yaitu Taryudi dan Fitra Djaja Purnama. Sementara itu, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Jamaludin, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Bekasi Sahat M Nohor, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Bekasi Dewi Tisnawati, serta Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi. Sebelumnya, KPK terus mengupas lapis demi lapis dugaan skandal suap perizinan proyek Meikarta. Masih ada beberapa pejabat maupun korporasi yang kuat dugaan terlibat. Setelah Billy Sindoro membuka secara berlahan fakta-fakta yang ada. Meski tidak memaparkan secara detail nama-nama yang disampaikan Billy Sindoro, Febri Diansyah memastikan, penyidik terus mempelajari fakta-fakta persidangan di Pengadilan Tipikor Bandung. Ditutukan Febri, skandal Meikarta dengan terdakwa Billy Sindoro (mantan petinggi Lippo Group) baru hal kecil yang terungkap. Sebagian masih di tahap penyidikan. ”Fakta-fakta yang lain sudah muncul dalam persidangan. Yang pasti KPK akan memproses,” ungkapnya. KPK, lanjut dia, semakin yakin dengan proses penanganan dugaan suap proyek Meikarta. Ini setelah, Bupati Bekasi (nonaktif) Neneng Hasanah Yasin mengembalikan uang Rp 8 miliar kepada penyidik KPK. ”Uang itu sebagai bukti bahwa telah terjadi transaksi terkait perizinan proyek Meikarta,” terangnya. Ketua KPK Agus Raharjo menambahkan sejauh ini, indikasi aliran duit tersebut mengarah pada kepentingan mengubah aturan tata ruang Kabupaten Bekasi yang tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 12/2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bekasi tahun 2011-2031. KPK akunya, telah memeriksa beberapa pihak, termasuk Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bekasi Jejen Sayuti dan anggota DPRD Waras Wasisto. Nanti berkembang. Dari keterangan mereka kita gali. Agus belum dapat memastikan siapa pihak yang menginginkan revisi perda itu. Begitu pula siapa saja legislatif yang diduga menerima janji atau hadiah berkaitan dengan kewenangan mereka dalam perubahan aturan daerah. ( Ade Candra )

Editor: Administrator

Bagikan melalui
Berita Lainnya